UN (bukan) Penentu Kelulusan
Ada kritik yang tak
kunjung terbantahkan tentang ujian nasional (UN) yakni apakah hasil
pendidikan selama tiga tahun itu bisa disederhanakan hanya dengan ujian
selama tiga hari ?!
Kritik itu sangat masuk akal, karena pendidikan selama tiga tahun memang tidak bisa diukur dengan hanya 3-4 hari UN atau seorang siswa dinyatakan lulus sekolah bila siswa itu lulus UN.
Sebut saja kritik dari Pembantu Dekan III Fakultas Kependidikan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Heru Saleh. Ia menilai kelulusan siswa jangan diserahkan kepada UN yang hanya 3-4 hari.
"Saya setuju UN, tapi UN jangan dijadikan penentu kelulusan. Bagi saya, kelulusan harus dikembalikan kepada guru atau sekolah, sedangkan UN hanya dijadikan peta bagi pemerintah untuk memperbaiki sekolah," tuturnya.
Apalagi, kata pakar pendidikan itu, sekolah itu beragam, ada sekolah umum dan ada sekolah kejuruan, karena itu ukuran kelulusan dari SMA/MA dan SMK tentu harus berbeda dan bukan disamakan dalam bentuk UN.
"Kalau sekolah umum, tentu guru bisa mengukur kelulusan dari ujian, perilaku, dan karakter, tapi sekolah kejurusan harus ditambah dengan kompetensi ketrampilan," paparnya, didampingi Kabid Humas Unitomo, Agustiawan Djoko Baruno.
Namun, katanya, UN tetap boleh ada, tapi UN hanya menjadi milik pemerintah untuk "peta sekolah" agar pemerintah dapat mengetahui mana sekolah yang perlu diperbaiki dan mana yang tidak, lalu perbaikannya seperti apa?.
"Unitomo sendiri sudah berbuat untuk perbaikan itu. Kami sudah melatih sejumlah guru dan kepala sekolah di Surabaya dan sekitarnya tentang standar proses yang diatur dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 bahwa silabus merupakan acuan untuk pengembangan RPP yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi dasar, penilaian karakter, dan sebagainya," katanya.
Pandangan senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur Imam Fadli. Ia meminta UN tidak dijadikan syarat utama untuk lulus sekolah, namun kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
"Misalnya, kalau ada siswi hamil dan ada siswa yang menghamili mungkin bisa lulus UN, tapi pendidikan bukan hanya itu, pendidikan harus mempertimbangkan karakter," katanya.
Oleh karena itu, katanya, adalah penting bila kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, sebab pihak sekolah tidak hanya akan menggunakan UN.
"Sekolah bisa mengacu pada UN, ujian sekolah, dan juga parameter lain. Jadi, UN atau ujian sekolah hendaknya hanya dijadikan alat evaluasi belajar, tapi alat ukur kelulusan tidak hanya satu, melainkan semuanya yakni UN, ujian sekolah, ketrampilan atau kreatifitas, dan karakter (akhlak)," katanya.
Menurut dia, bila pendidikan hanya berhenti pada ujian atau UN, maka pendidikan akan gagal melahirkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas.
"Karakter itu justru merupakan faktor utama untuk menekan korupsi dan tindak kriminalitas. Jadi, kalau kita ingin maju, maka pendidikan karakter di bangku sekolah itulah kuncinya, bukan hanya kognitif," kata orang nomer satu di IPNU Jatim asal Lamongan itu.
PTN, 40:60, Peta
Sesungguhnya, UN mulai mengalami "perubahan" terhitung sejak tahun 2011, karena sejak saat itulah sistem penilaian tidak dimonopoli UN sebagaimana dikritik banyak pihak, namun penilaian diatur menjadi 40 persen penilaian dari sekolah dan 60 persen penilaian dari hasil UN.
Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada SMP/MTS, SMP-LB, SMA/MA, dan SMK Tahun Pelajaran 2010/2011.
Pasal 6 Ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa "Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA). NA sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai Sekolah/Madrasah (NS/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN dengan pembobotan 40 persen untuk NS/M dan 60 persen untuk Nilai UN".
Secara sederhana, Pasal 6 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 itu menunjukkan bahwa pemerintah memberikan otoritas atau kewenangan kepada sekolah/madrasah untuk ikut terlibat dalam menentukan nilai kelulusan peserta didik (siswa).
Hal itu sesuai dengan paradigma kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan. KTSP memberikan otoritas lebih kepada sekolah/madrasah untuk menentukan rumusan "outcome" lulusan secara mandiri.
Lantas, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan juga mengatur serangkaian bentuk penilaian mulai dari nilai rapor (Ulangan Harian/UH, Ulangan Tengah Semester/UTS, Ulangan Akhir Semester/UAS), Ujian Sekolah/Madrasah (US/M), dan Ujian Nasional (UN).
Bila penilaian sudah diserahkan kepada sekolah, maka kenapa masih harus ada UN?
Saat bersilaturahmi dengan wartawan di Surabaya (21/4), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan pihaknya tidak akan mengubah persentase UN dalam menentukan faktor kelulusan dibandingkan dengan ujian sekolah (US/M) dan rapor yakni 60 persen UN dan 40 persen US.
"Itu karena nilai UN akan dapat menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur undangan (60 persen mahasiswa baru di setiap PTN) dan UN akan menjadi separator untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang, bukan sekadar lulus, sehingga pimpinan PTN akan membandingkan nilai UN dan nilai sekolah, sehingga dia akan tahu kualitas seorang siswa," katanya.
Tidak hanya itu, mantan Rektor ITS Surabaya itu menegaskan bahwa pihaknya akan mengembangkan penilaian lembaga pendidikan untuk tiga komponen yakni siswa, guru, dan sekolah, bahkan penilaian itu pun tidak hanya dilakukan pemerintah, melainkan sudah melibatkan pakar pendidikan dari PTN.
"Selama ini, kami sudah mengukur kualitas siswa dengan UN, sekaligus UN akan dapat memaksa siswa untuk belajar. Selain itu, kami juga sudah mengukur kualitas guru dengan UKA (uji kompetensi awal), meski masih rintisan. Ke depan, kami akan mengembangkan penilaian kinerja untuk mengukur kepala sekolah, sehingga kita akan tahu kualitas sebuah sekolah," katanya.
Hasil pengukuran kualitas siswa, guru, dan kepala sekolah itu akan bermanfaat bagi pemerintah untuk memetakan sekolah mana yang perlu ditingkatkan kualitasnya, apakah siswanya, gurunya, kepala sekolahnya, atau sarana dan prasarananya.
"Dengan pemetaan itu, pemerintah akan dapat melakukan intervensi, misalnya sekolah-sekolah yang tidak berkualitas akan dimerger, sekolah-sekolah yang berkualitas tapi masih ada kekurangan kualitas akan dibantu sesuai dengan kekurangannya, apakah laboratorium, pelatihan guru, pembekalan kepala sekolah, menambah buku perpustakaan, dan intervensi lain," katanya.
Walhasil, UN yang selama ini dikritik banyak pihak akan mengalami metamorfose sesuai harapan masyarakat, karena UN akan berubah fungsi dari fungsi kelulusan menjadi fungsi yang lebih bermanfaat, di antaranya separator penilaian siswa yang objektif, syarat masuk PTN, dan pemetaan sekolah. (ANT)
Kritik itu sangat masuk akal, karena pendidikan selama tiga tahun memang tidak bisa diukur dengan hanya 3-4 hari UN atau seorang siswa dinyatakan lulus sekolah bila siswa itu lulus UN.
Sebut saja kritik dari Pembantu Dekan III Fakultas Kependidikan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Heru Saleh. Ia menilai kelulusan siswa jangan diserahkan kepada UN yang hanya 3-4 hari.
"Saya setuju UN, tapi UN jangan dijadikan penentu kelulusan. Bagi saya, kelulusan harus dikembalikan kepada guru atau sekolah, sedangkan UN hanya dijadikan peta bagi pemerintah untuk memperbaiki sekolah," tuturnya.
Apalagi, kata pakar pendidikan itu, sekolah itu beragam, ada sekolah umum dan ada sekolah kejuruan, karena itu ukuran kelulusan dari SMA/MA dan SMK tentu harus berbeda dan bukan disamakan dalam bentuk UN.
"Kalau sekolah umum, tentu guru bisa mengukur kelulusan dari ujian, perilaku, dan karakter, tapi sekolah kejurusan harus ditambah dengan kompetensi ketrampilan," paparnya, didampingi Kabid Humas Unitomo, Agustiawan Djoko Baruno.
Namun, katanya, UN tetap boleh ada, tapi UN hanya menjadi milik pemerintah untuk "peta sekolah" agar pemerintah dapat mengetahui mana sekolah yang perlu diperbaiki dan mana yang tidak, lalu perbaikannya seperti apa?.
"Unitomo sendiri sudah berbuat untuk perbaikan itu. Kami sudah melatih sejumlah guru dan kepala sekolah di Surabaya dan sekitarnya tentang standar proses yang diatur dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 bahwa silabus merupakan acuan untuk pengembangan RPP yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi dasar, penilaian karakter, dan sebagainya," katanya.
Pandangan senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur Imam Fadli. Ia meminta UN tidak dijadikan syarat utama untuk lulus sekolah, namun kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
"Misalnya, kalau ada siswi hamil dan ada siswa yang menghamili mungkin bisa lulus UN, tapi pendidikan bukan hanya itu, pendidikan harus mempertimbangkan karakter," katanya.
Oleh karena itu, katanya, adalah penting bila kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, sebab pihak sekolah tidak hanya akan menggunakan UN.
"Sekolah bisa mengacu pada UN, ujian sekolah, dan juga parameter lain. Jadi, UN atau ujian sekolah hendaknya hanya dijadikan alat evaluasi belajar, tapi alat ukur kelulusan tidak hanya satu, melainkan semuanya yakni UN, ujian sekolah, ketrampilan atau kreatifitas, dan karakter (akhlak)," katanya.
Menurut dia, bila pendidikan hanya berhenti pada ujian atau UN, maka pendidikan akan gagal melahirkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas.
"Karakter itu justru merupakan faktor utama untuk menekan korupsi dan tindak kriminalitas. Jadi, kalau kita ingin maju, maka pendidikan karakter di bangku sekolah itulah kuncinya, bukan hanya kognitif," kata orang nomer satu di IPNU Jatim asal Lamongan itu.
PTN, 40:60, Peta
Sesungguhnya, UN mulai mengalami "perubahan" terhitung sejak tahun 2011, karena sejak saat itulah sistem penilaian tidak dimonopoli UN sebagaimana dikritik banyak pihak, namun penilaian diatur menjadi 40 persen penilaian dari sekolah dan 60 persen penilaian dari hasil UN.
Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada SMP/MTS, SMP-LB, SMA/MA, dan SMK Tahun Pelajaran 2010/2011.
Pasal 6 Ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa "Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA). NA sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai Sekolah/Madrasah (NS/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN dengan pembobotan 40 persen untuk NS/M dan 60 persen untuk Nilai UN".
Secara sederhana, Pasal 6 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 itu menunjukkan bahwa pemerintah memberikan otoritas atau kewenangan kepada sekolah/madrasah untuk ikut terlibat dalam menentukan nilai kelulusan peserta didik (siswa).
Hal itu sesuai dengan paradigma kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan. KTSP memberikan otoritas lebih kepada sekolah/madrasah untuk menentukan rumusan "outcome" lulusan secara mandiri.
Lantas, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan juga mengatur serangkaian bentuk penilaian mulai dari nilai rapor (Ulangan Harian/UH, Ulangan Tengah Semester/UTS, Ulangan Akhir Semester/UAS), Ujian Sekolah/Madrasah (US/M), dan Ujian Nasional (UN).
Bila penilaian sudah diserahkan kepada sekolah, maka kenapa masih harus ada UN?
Saat bersilaturahmi dengan wartawan di Surabaya (21/4), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan pihaknya tidak akan mengubah persentase UN dalam menentukan faktor kelulusan dibandingkan dengan ujian sekolah (US/M) dan rapor yakni 60 persen UN dan 40 persen US.
"Itu karena nilai UN akan dapat menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur undangan (60 persen mahasiswa baru di setiap PTN) dan UN akan menjadi separator untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang, bukan sekadar lulus, sehingga pimpinan PTN akan membandingkan nilai UN dan nilai sekolah, sehingga dia akan tahu kualitas seorang siswa," katanya.
Tidak hanya itu, mantan Rektor ITS Surabaya itu menegaskan bahwa pihaknya akan mengembangkan penilaian lembaga pendidikan untuk tiga komponen yakni siswa, guru, dan sekolah, bahkan penilaian itu pun tidak hanya dilakukan pemerintah, melainkan sudah melibatkan pakar pendidikan dari PTN.
"Selama ini, kami sudah mengukur kualitas siswa dengan UN, sekaligus UN akan dapat memaksa siswa untuk belajar. Selain itu, kami juga sudah mengukur kualitas guru dengan UKA (uji kompetensi awal), meski masih rintisan. Ke depan, kami akan mengembangkan penilaian kinerja untuk mengukur kepala sekolah, sehingga kita akan tahu kualitas sebuah sekolah," katanya.
Hasil pengukuran kualitas siswa, guru, dan kepala sekolah itu akan bermanfaat bagi pemerintah untuk memetakan sekolah mana yang perlu ditingkatkan kualitasnya, apakah siswanya, gurunya, kepala sekolahnya, atau sarana dan prasarananya.
"Dengan pemetaan itu, pemerintah akan dapat melakukan intervensi, misalnya sekolah-sekolah yang tidak berkualitas akan dimerger, sekolah-sekolah yang berkualitas tapi masih ada kekurangan kualitas akan dibantu sesuai dengan kekurangannya, apakah laboratorium, pelatihan guru, pembekalan kepala sekolah, menambah buku perpustakaan, dan intervensi lain," katanya.
Walhasil, UN yang selama ini dikritik banyak pihak akan mengalami metamorfose sesuai harapan masyarakat, karena UN akan berubah fungsi dari fungsi kelulusan menjadi fungsi yang lebih bermanfaat, di antaranya separator penilaian siswa yang objektif, syarat masuk PTN, dan pemetaan sekolah. (ANT)
Editor: B Kunto Wibisono
Sumber : www.antaranews.com
0 komentar:
Posting Komentar