Jadwal pelajaran SMP Bina Bangsa 2 Tahun 2012/2013 download disini
Assalamu’alaikum.Wr.Wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan Rahmat dan KaruniaNya lah; kita dapat menyelenggarakan pelayanan pendidikan melalui SMP Bina Bangsa 2 Surabaya.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan Rahmat dan KaruniaNya lah; kita dapat menyelenggarakan pelayanan pendidikan melalui SMP Bina Bangsa 2 Surabaya.
Sejak
tahun 1987 SMP Bina Bangsa 2 telah bekerja keras meningkatkan dan
memperbaiki semua fasilitas dan kegiatannya; sehingga seluruh kegiatan
belajar mengajar bisa dilaksanakan dengan baik dan berkualitas.
Kegiatan
Belajar Mengajar yang diasuh oleh guru-guru yang berkualitas dan
berpengalaman dengan bantuan kerjasama pendukungnya, menunjukan bahwa
aktivitas akademik SMP Bina Bangsa 2 Surabaya dapat berkarya dengan baik
secara terpadu dan penuh kesungguhan dalam memberikan pelayanan
pendidikan kepada masyarakat. Namun demikian etos kerja, kebersamaan dan
keterpaduan tetap harus diperbaiki dan ditingkatkan. Dengan Niat dan
semangat yang tinggi bahwa sukses pendidikan tidak terlepas dari tiga
komponen utama yaitu:
1. sekolah
2. keluarga (orang tua siswa)
3. masyarakat
Bila
ketiganya bisa bersinergi maka kesuksesan SMP Bina Bangsa 2 Surabayaa mampu
mendorong siswa untuk selalu mencapai prestasi tertinggi dan terdepan.
Demikian
kami ucapkan terima kasih kepada masyarakat atas segala partisipasinya
dalam ikut membesarkan SMP Bina Bangsa 2 Surabaya hingga memperoleh
predikat akreditasi “A”. serta atas kepercayaan untuk memilih belajar
putra putrinya pada SMP Bina Bangsa 2 Surabaya. Semoga Allah, selalu bersama
kita.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.
MUHIBBUDDIN ZUHRI, S. Pd
SAMBUTAN KEPALA SEKOLAH
MOCHAMMAD ROFII
07.01
Ada kritik yang tak
kunjung terbantahkan tentang ujian nasional (UN) yakni apakah hasil
pendidikan selama tiga tahun itu bisa disederhanakan hanya dengan ujian
selama tiga hari ?!
Kritik itu sangat masuk akal, karena pendidikan selama tiga tahun memang tidak bisa diukur dengan hanya 3-4 hari UN atau seorang siswa dinyatakan lulus sekolah bila siswa itu lulus UN.
Sebut saja kritik dari Pembantu Dekan III Fakultas Kependidikan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Heru Saleh. Ia menilai kelulusan siswa jangan diserahkan kepada UN yang hanya 3-4 hari.
"Saya setuju UN, tapi UN jangan dijadikan penentu kelulusan. Bagi saya, kelulusan harus dikembalikan kepada guru atau sekolah, sedangkan UN hanya dijadikan peta bagi pemerintah untuk memperbaiki sekolah," tuturnya.
Apalagi, kata pakar pendidikan itu, sekolah itu beragam, ada sekolah umum dan ada sekolah kejuruan, karena itu ukuran kelulusan dari SMA/MA dan SMK tentu harus berbeda dan bukan disamakan dalam bentuk UN.
"Kalau sekolah umum, tentu guru bisa mengukur kelulusan dari ujian, perilaku, dan karakter, tapi sekolah kejurusan harus ditambah dengan kompetensi ketrampilan," paparnya, didampingi Kabid Humas Unitomo, Agustiawan Djoko Baruno.
Namun, katanya, UN tetap boleh ada, tapi UN hanya menjadi milik pemerintah untuk "peta sekolah" agar pemerintah dapat mengetahui mana sekolah yang perlu diperbaiki dan mana yang tidak, lalu perbaikannya seperti apa?.
"Unitomo sendiri sudah berbuat untuk perbaikan itu. Kami sudah melatih sejumlah guru dan kepala sekolah di Surabaya dan sekitarnya tentang standar proses yang diatur dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 bahwa silabus merupakan acuan untuk pengembangan RPP yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi dasar, penilaian karakter, dan sebagainya," katanya.
Pandangan senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur Imam Fadli. Ia meminta UN tidak dijadikan syarat utama untuk lulus sekolah, namun kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
"Misalnya, kalau ada siswi hamil dan ada siswa yang menghamili mungkin bisa lulus UN, tapi pendidikan bukan hanya itu, pendidikan harus mempertimbangkan karakter," katanya.
Oleh karena itu, katanya, adalah penting bila kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, sebab pihak sekolah tidak hanya akan menggunakan UN.
"Sekolah bisa mengacu pada UN, ujian sekolah, dan juga parameter lain. Jadi, UN atau ujian sekolah hendaknya hanya dijadikan alat evaluasi belajar, tapi alat ukur kelulusan tidak hanya satu, melainkan semuanya yakni UN, ujian sekolah, ketrampilan atau kreatifitas, dan karakter (akhlak)," katanya.
Menurut dia, bila pendidikan hanya berhenti pada ujian atau UN, maka pendidikan akan gagal melahirkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas.
"Karakter itu justru merupakan faktor utama untuk menekan korupsi dan tindak kriminalitas. Jadi, kalau kita ingin maju, maka pendidikan karakter di bangku sekolah itulah kuncinya, bukan hanya kognitif," kata orang nomer satu di IPNU Jatim asal Lamongan itu.
PTN, 40:60, Peta
Sesungguhnya, UN mulai mengalami "perubahan" terhitung sejak tahun 2011, karena sejak saat itulah sistem penilaian tidak dimonopoli UN sebagaimana dikritik banyak pihak, namun penilaian diatur menjadi 40 persen penilaian dari sekolah dan 60 persen penilaian dari hasil UN.
Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada SMP/MTS, SMP-LB, SMA/MA, dan SMK Tahun Pelajaran 2010/2011.
Pasal 6 Ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa "Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA). NA sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai Sekolah/Madrasah (NS/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN dengan pembobotan 40 persen untuk NS/M dan 60 persen untuk Nilai UN".
Secara sederhana, Pasal 6 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 itu menunjukkan bahwa pemerintah memberikan otoritas atau kewenangan kepada sekolah/madrasah untuk ikut terlibat dalam menentukan nilai kelulusan peserta didik (siswa).
Hal itu sesuai dengan paradigma kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan. KTSP memberikan otoritas lebih kepada sekolah/madrasah untuk menentukan rumusan "outcome" lulusan secara mandiri.
Lantas, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan juga mengatur serangkaian bentuk penilaian mulai dari nilai rapor (Ulangan Harian/UH, Ulangan Tengah Semester/UTS, Ulangan Akhir Semester/UAS), Ujian Sekolah/Madrasah (US/M), dan Ujian Nasional (UN).
Bila penilaian sudah diserahkan kepada sekolah, maka kenapa masih harus ada UN?
Saat bersilaturahmi dengan wartawan di Surabaya (21/4), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan pihaknya tidak akan mengubah persentase UN dalam menentukan faktor kelulusan dibandingkan dengan ujian sekolah (US/M) dan rapor yakni 60 persen UN dan 40 persen US.
"Itu karena nilai UN akan dapat menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur undangan (60 persen mahasiswa baru di setiap PTN) dan UN akan menjadi separator untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang, bukan sekadar lulus, sehingga pimpinan PTN akan membandingkan nilai UN dan nilai sekolah, sehingga dia akan tahu kualitas seorang siswa," katanya.
Tidak hanya itu, mantan Rektor ITS Surabaya itu menegaskan bahwa pihaknya akan mengembangkan penilaian lembaga pendidikan untuk tiga komponen yakni siswa, guru, dan sekolah, bahkan penilaian itu pun tidak hanya dilakukan pemerintah, melainkan sudah melibatkan pakar pendidikan dari PTN.
"Selama ini, kami sudah mengukur kualitas siswa dengan UN, sekaligus UN akan dapat memaksa siswa untuk belajar. Selain itu, kami juga sudah mengukur kualitas guru dengan UKA (uji kompetensi awal), meski masih rintisan. Ke depan, kami akan mengembangkan penilaian kinerja untuk mengukur kepala sekolah, sehingga kita akan tahu kualitas sebuah sekolah," katanya.
Hasil pengukuran kualitas siswa, guru, dan kepala sekolah itu akan bermanfaat bagi pemerintah untuk memetakan sekolah mana yang perlu ditingkatkan kualitasnya, apakah siswanya, gurunya, kepala sekolahnya, atau sarana dan prasarananya.
"Dengan pemetaan itu, pemerintah akan dapat melakukan intervensi, misalnya sekolah-sekolah yang tidak berkualitas akan dimerger, sekolah-sekolah yang berkualitas tapi masih ada kekurangan kualitas akan dibantu sesuai dengan kekurangannya, apakah laboratorium, pelatihan guru, pembekalan kepala sekolah, menambah buku perpustakaan, dan intervensi lain," katanya.
Walhasil, UN yang selama ini dikritik banyak pihak akan mengalami metamorfose sesuai harapan masyarakat, karena UN akan berubah fungsi dari fungsi kelulusan menjadi fungsi yang lebih bermanfaat, di antaranya separator penilaian siswa yang objektif, syarat masuk PTN, dan pemetaan sekolah. (ANT)
Kritik itu sangat masuk akal, karena pendidikan selama tiga tahun memang tidak bisa diukur dengan hanya 3-4 hari UN atau seorang siswa dinyatakan lulus sekolah bila siswa itu lulus UN.
Sebut saja kritik dari Pembantu Dekan III Fakultas Kependidikan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Heru Saleh. Ia menilai kelulusan siswa jangan diserahkan kepada UN yang hanya 3-4 hari.
"Saya setuju UN, tapi UN jangan dijadikan penentu kelulusan. Bagi saya, kelulusan harus dikembalikan kepada guru atau sekolah, sedangkan UN hanya dijadikan peta bagi pemerintah untuk memperbaiki sekolah," tuturnya.
Apalagi, kata pakar pendidikan itu, sekolah itu beragam, ada sekolah umum dan ada sekolah kejuruan, karena itu ukuran kelulusan dari SMA/MA dan SMK tentu harus berbeda dan bukan disamakan dalam bentuk UN.
"Kalau sekolah umum, tentu guru bisa mengukur kelulusan dari ujian, perilaku, dan karakter, tapi sekolah kejurusan harus ditambah dengan kompetensi ketrampilan," paparnya, didampingi Kabid Humas Unitomo, Agustiawan Djoko Baruno.
Namun, katanya, UN tetap boleh ada, tapi UN hanya menjadi milik pemerintah untuk "peta sekolah" agar pemerintah dapat mengetahui mana sekolah yang perlu diperbaiki dan mana yang tidak, lalu perbaikannya seperti apa?.
"Unitomo sendiri sudah berbuat untuk perbaikan itu. Kami sudah melatih sejumlah guru dan kepala sekolah di Surabaya dan sekitarnya tentang standar proses yang diatur dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 bahwa silabus merupakan acuan untuk pengembangan RPP yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi dasar, penilaian karakter, dan sebagainya," katanya.
Pandangan senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Timur Imam Fadli. Ia meminta UN tidak dijadikan syarat utama untuk lulus sekolah, namun kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
"Misalnya, kalau ada siswi hamil dan ada siswa yang menghamili mungkin bisa lulus UN, tapi pendidikan bukan hanya itu, pendidikan harus mempertimbangkan karakter," katanya.
Oleh karena itu, katanya, adalah penting bila kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, sebab pihak sekolah tidak hanya akan menggunakan UN.
"Sekolah bisa mengacu pada UN, ujian sekolah, dan juga parameter lain. Jadi, UN atau ujian sekolah hendaknya hanya dijadikan alat evaluasi belajar, tapi alat ukur kelulusan tidak hanya satu, melainkan semuanya yakni UN, ujian sekolah, ketrampilan atau kreatifitas, dan karakter (akhlak)," katanya.
Menurut dia, bila pendidikan hanya berhenti pada ujian atau UN, maka pendidikan akan gagal melahirkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas.
"Karakter itu justru merupakan faktor utama untuk menekan korupsi dan tindak kriminalitas. Jadi, kalau kita ingin maju, maka pendidikan karakter di bangku sekolah itulah kuncinya, bukan hanya kognitif," kata orang nomer satu di IPNU Jatim asal Lamongan itu.
PTN, 40:60, Peta
Sesungguhnya, UN mulai mengalami "perubahan" terhitung sejak tahun 2011, karena sejak saat itulah sistem penilaian tidak dimonopoli UN sebagaimana dikritik banyak pihak, namun penilaian diatur menjadi 40 persen penilaian dari sekolah dan 60 persen penilaian dari hasil UN.
Perubahan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada SMP/MTS, SMP-LB, SMA/MA, dan SMK Tahun Pelajaran 2010/2011.
Pasal 6 Ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa "Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA). NA sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai Sekolah/Madrasah (NS/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN dengan pembobotan 40 persen untuk NS/M dan 60 persen untuk Nilai UN".
Secara sederhana, Pasal 6 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 itu menunjukkan bahwa pemerintah memberikan otoritas atau kewenangan kepada sekolah/madrasah untuk ikut terlibat dalam menentukan nilai kelulusan peserta didik (siswa).
Hal itu sesuai dengan paradigma kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan. KTSP memberikan otoritas lebih kepada sekolah/madrasah untuk menentukan rumusan "outcome" lulusan secara mandiri.
Lantas, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan juga mengatur serangkaian bentuk penilaian mulai dari nilai rapor (Ulangan Harian/UH, Ulangan Tengah Semester/UTS, Ulangan Akhir Semester/UAS), Ujian Sekolah/Madrasah (US/M), dan Ujian Nasional (UN).
Bila penilaian sudah diserahkan kepada sekolah, maka kenapa masih harus ada UN?
Saat bersilaturahmi dengan wartawan di Surabaya (21/4), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan pihaknya tidak akan mengubah persentase UN dalam menentukan faktor kelulusan dibandingkan dengan ujian sekolah (US/M) dan rapor yakni 60 persen UN dan 40 persen US.
"Itu karena nilai UN akan dapat menjadi syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur undangan (60 persen mahasiswa baru di setiap PTN) dan UN akan menjadi separator untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang, bukan sekadar lulus, sehingga pimpinan PTN akan membandingkan nilai UN dan nilai sekolah, sehingga dia akan tahu kualitas seorang siswa," katanya.
Tidak hanya itu, mantan Rektor ITS Surabaya itu menegaskan bahwa pihaknya akan mengembangkan penilaian lembaga pendidikan untuk tiga komponen yakni siswa, guru, dan sekolah, bahkan penilaian itu pun tidak hanya dilakukan pemerintah, melainkan sudah melibatkan pakar pendidikan dari PTN.
"Selama ini, kami sudah mengukur kualitas siswa dengan UN, sekaligus UN akan dapat memaksa siswa untuk belajar. Selain itu, kami juga sudah mengukur kualitas guru dengan UKA (uji kompetensi awal), meski masih rintisan. Ke depan, kami akan mengembangkan penilaian kinerja untuk mengukur kepala sekolah, sehingga kita akan tahu kualitas sebuah sekolah," katanya.
Hasil pengukuran kualitas siswa, guru, dan kepala sekolah itu akan bermanfaat bagi pemerintah untuk memetakan sekolah mana yang perlu ditingkatkan kualitasnya, apakah siswanya, gurunya, kepala sekolahnya, atau sarana dan prasarananya.
"Dengan pemetaan itu, pemerintah akan dapat melakukan intervensi, misalnya sekolah-sekolah yang tidak berkualitas akan dimerger, sekolah-sekolah yang berkualitas tapi masih ada kekurangan kualitas akan dibantu sesuai dengan kekurangannya, apakah laboratorium, pelatihan guru, pembekalan kepala sekolah, menambah buku perpustakaan, dan intervensi lain," katanya.
Walhasil, UN yang selama ini dikritik banyak pihak akan mengalami metamorfose sesuai harapan masyarakat, karena UN akan berubah fungsi dari fungsi kelulusan menjadi fungsi yang lebih bermanfaat, di antaranya separator penilaian siswa yang objektif, syarat masuk PTN, dan pemetaan sekolah. (ANT)
Editor: B Kunto Wibisono
Sumber : www.antaranews.com
UN (bukan) Penentu Kelulusan
MOCHAMMAD ROFII
01.36
FORMULIR PENDAFTARAN ONLINE
MOCHAMMAD ROFII
19.20
LDKS DI LAWANG-MALANG
MOCHAMMAD ROFII
13.48
Semua aspek yang terlibat dalam pendidikan sudah rusak. Guru-guru
melakukan pembiaran dan bahkan menyarankan dan bahkan lagi ikut serta
dalam praktek-praktek pembocoran soal. Mereka menutup mata pada siswa
yang saling membantu dalam Ujian Nasional dengan alasan demi menjaga
"Nama Baik Sekolah". Para pengawas menutup mata demi nama baik daerah.
Kejadian nyata di daerah :
- Seorang dosen menjual soal ujian kepada mahasiswanya,
- Seorang guru mencari, menyogok dan membocorkan soal cerdas cermat agar siswa didiknya bisa juara di lomba tersebut.
- Pengangkatan guru PNS yang sarat dengan penyogokan. Di Daerah kami, pada saat pengumuman hasil ujian CPNS di koran, sama sekali tidak dicantumkan skor nilai dari peserta yang lolos, tidak sama dengan daerah tetangga seperti Kota Tasikmalaya, Garut, Banjar dan Ciamis yang mencantumkan skor. Banyak terdengar selentingan kabar kalau semua 'kursi' CPNS sudah "terjual habis" dengan bandrol minimal 80 juta.
Agama yang seharusnya dijadikan dasar untuk mencegah berbagai macam
kecurangan dan kesalahan menjadi omong kosong belaka bagi mereka,
karena:
- Dosen yang menjual soal ujian kepada mahasiswanya adalah seorang Pimpinan salah satu Yayasan Pendidikan Islam. Mahasiswa yang membeli soal ujian adalah seorang ustadz diniyah.
- Guru yang menyogok untuuk mendapatkan soal cerdas cermat adalah seorang khotib shalat jumat.
- Bupati yang mengesahkan para CPNS bajakan itu adalah seorang Haji.
- Saya sang penulis terpaksa meletakan iman ke tingkat yang paling rendah dengan kemampuan berbicara hanya dalam hati dan menulis atas nama Anonimitas.
Dunia Pendidikan Kita "Sudah" Hancur
MOCHAMMAD ROFII
04.59
KOLOM ALUMNI BINA BANGSA
MOCHAMMAD ROFII
02.12
- Mengisi Formulir Pendaftaran
- Menyerahkan FC. Ijazah SD/MI
- Menyerahkan FC. SKHUN SD/MI
- Menyerahkan Pas Foto 3 x 4 cm
Jl. Krembangan Jaya V/29 Surabaya Telp. 031-3541710
e mail : smp_bisa2@yahoo.com
FASILITAS
- Gratis Uang Pendaftaran
- Gratis Uang Gedung
- Gratis Uang SPP (Selama ada Program BOS)
- Hadrah Al Banjary
- Baca Kitab Kuning
- Komputer + Internet
- Karya Ilmiah Remaja (KIR)
- Kewirausahaan
- Pramuka
Download Brosur Penerimaan Siswa Baru
( )
Call Centre
SMP Bina Bangsa 2 Telp. 031-3541710
Ibu Lilik Rosyidah, ST. Telp. 03191013554
Bpk. Sukamto, S. Pd Telp. 03171026222
- Menyerahkan FC. Ijazah SD/MI
- Menyerahkan FC. SKHUN SD/MI
- Menyerahkan Pas Foto 3 x 4 cm
WAKTU PENDAFTARAN
Setiap Hari sampai Formasi Kelas Terpenuhi
TEMPAT PENDAFTARAN
Gedung SMP Bina Bangsa 2Jl. Krembangan Jaya V/29 Surabaya Telp. 031-3541710
e mail : smp_bisa2@yahoo.com
FASILITAS
- Gratis Uang Pendaftaran
- Gratis Uang Gedung
- Gratis Uang SPP (Selama ada Program BOS)
EKTRAKURIKULER.
- Pencak Silat Pagar Nusa- Hadrah Al Banjary
- Baca Kitab Kuning
- Komputer + Internet
- Karya Ilmiah Remaja (KIR)
- Kewirausahaan
- Pramuka
Download Brosur Penerimaan Siswa Baru
( )
Call Centre
SMP Bina Bangsa 2 Telp. 031-3541710
Ibu Lilik Rosyidah, ST. Telp. 03191013554
Bpk. Sukamto, S. Pd Telp. 03171026222
INFORMASI PSB TAHUN 2012-2013
MOCHAMMAD ROFII
19.40
Begini, apakah anda merasa guru yang mampu mengajar Ilmu Sains Roket dengan whiteboard marker (sebagai peraga, bukan pena) adalah gaptek? Sebenarnya whiteboard marker dapat digunakan sebagai proyek kelas sampai benar-benar sebagai roket yang terbang. Dalam model pembelajaran seperti ini (sebagai contoh) pelajarnya harus sangat kreatif, kreativitas yang dapat meningkatkan PDnya selama hidup. Dibanding membaca atau nonton di layar komputer.
Kalau guru sudah dapat melakukan pembelajaran secara ini, yang sangat bermutu, beliau tidak dapat disebut "gaptek" dan untuk belajar cara memakai komputer adalah gampang sekali. Sebenarnya kalau beliau sudah biasa menggunakan kreativitas begini, beliau dapat melihat kebanyakan kekurangan dari teknologi canggih, misalnya pembelajaran pasif, suap-suapan informasi - yang tidak perlu imaginasi atau kreativitas, dll - Asal-Hafal-Saja. Ilmu Teknologi Pendidikan Berbasis-Ilmu TTG yang berbasis-kreativitas guru dan pelajar paling menyiapkan guru maupun pelajar untuk semua keadaan di mana saja. Saya kira "yang sudah lupa" bahwa apa saja dapat diajarkan (termasuk dasarnya teknologi canggih sendiri) dengan teknologi sederhana, adalah yang "gaptek". Teknologi canggih hanya adalah salah satu pilihan kalau mengajar, bukan kebutuhan (kecuali kalau mengajar teknologinya). |
Guru Ga Boleh 'Gaptek' alias gagap teknologi
MOCHAMMAD ROFII
20.22
Penilaian kelulusan siswa SMP dan SMA sederajat pada pelaksanaan Ujian Nasional 2011 akan diubah. Standar kelulusan siswa dihitung dengan formula baru yang tidak saling memveto, tetapi dengan mengakomodasi hasil belajar siswa selama di sekolah.
Komisi X DPR dalam rapat kerja dengan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Senin (13/12/2010), menyepakati, dalam formula baru kelulusan siswa dari satuan pendidikan harus mengakomodasi nilai rapor, ujian sekolah, dan ujian nasional (UN). Bahkan, mata pelajaran lain yang tidak masuk UN juga diminta untuk dipakai sebagai pertimbangan kelulusan.
Ketua Panitia Kerja UN Komisi X DPR Rully Chairul Azwar mengatakan, pada kelulusan siswa mulai tahun 2011 jangan lagi dengan penilaian yang saling menjatuhkan. Kegagalan siswa lulus dari sekolah selama ini banyak didominasi hasil UN yang tidak mencapai nilai minimal.
”Kita berutang kepada masyarakat soal standar mutu pendidikan yang belum sama. Jadi, tidak bisa ujian kelulusan dengan standar sama. Formula baru standar kelulusan siswa mesti adil untuk siswa dengan mengakomodasi hasil belajar selama sekolah dan mempertimbangkan nilai lainnya,” kata Rully.
Pemerintah sepakat
Nuh mengatakan, pemerintah sepakat dengan masukan DPR untuk mengakomodasi semua proses belajar siswa selama di sekolah. Meski bersedia menerima masukan Komisi X DPR, pemerintah masih tetap ingin supaya dalam penghitungan nilai akhir siswa yang menjadi acuan standar kelulusan tetap memberi bobot yang lebih besar pada hasil UN. Nuh beralasan, nilai UN perlu untuk mengontrol nilai sekolah.
Dari kajian Kemendiknas, sekolah yang terakreditasi C cenderung lebih mudah atau royal memberi nilai tinggi kepada siswa. Dengan demikian, nilai dari sekolah untuk semua siswa hampir sama, dianggap belum mampu membedakan mana siswa yang berprestasi baik dan biasa- biasa saja atau di bawah rata-rata.
Nuh mengatakan, nilai akhir yang merupakan gabungan dari nilai sekolah dan nilai UN tetap harus memenuhi syarat nilai minimal. Pemerintah berencana mematok nilai minimal 5,5. Dengan adanya formula baru kelulusan siswa, berkembang wacana tidak ada lagi UN ulangan.
Dedy S Gumelar dari Fraksi PDI-P mengatakan, penilaian kelulusan nanti sudah mengakomodasi penilaian dari guru dan sekolah serta tidak saling menjatuhkan sehingga tidak perlu UN ulangan. Nuh mengatakan, ada atau tidaknya UN ulangan, akan dibahas kembali. (ELN)
Sumber : Kompas.com
Nilai Kelulusan UN Siswa Diubah
MOCHAMMAD ROFII
17.57